Saturday, July 25, 2009

TUBERCULOSIS (TBC)



1. Definisi
Tuberculosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis dengan gejala yang sangat bervariasi (Mansjoer, Arief, 2000 : 472).

2. Etiologi
Penyakit TBC disebabkan oleh Mycobakterium Tuberculosis.

3. Manifestasi Klinis
a. Asimptomatis.
b. Gejala TB paru yang khas, kemudian stagnasi dan regresi.
c. Eksaserbasi yang memburuk.
d. Gejala berulang dan menjadi kronik.
Gejala utama meliputi :
a. Batuk lebih dari dua minggu.
b. Batuk dengan atau tanpa sputum.
c. Malaise.
d. Gejala flu.
e. Demam ringan.
f. Nyeri dada.
g. Hemaptoe.

4. Patofisiologi
(1). Tanda-tanda gagal jantung tidak akan ada.
(2). Prekordium akan tenang
(3). Auskultasi akan menunjukkkan bising holosistolik di apeks, menjalar ke aksila.
(4). EKG normal
(5). Rontgen normal
b. Pada insufisiensi mitral berat
(1). Tanda-tanda gagaj jantung kongestif kronis
(2). Kelelahan.
(3). Penambahan berat
(4). Lemah
(5). Dipsnea pada saat kerja
(6). Jantung membesar dengan impuls prekordial ventrikel kiri apeks kuat angkat dan sering ada getaran (thrill) sistolik
di apeks.
(7). S1 normal
(8). S2 mungkin diperkuat jika ada hipertensi pulmonal.
(9). S3 biasanya jelas
(10). Jarang ada klik ejeksi mid sistolik seperti ditemukan pada prolaps katup mitral nonreumatik.
(11). Bising holosistolik terdengar di apeks menjalar ke aksila
dan sternum.
(12). EKG menunjukkan gelombang P bifid yang mencolok, tanda-tanda hipertropi ventrikel kiri dan disertai hipertropi ventrikel kanan jika ada hipertensi pulmonal.
(13). Rontgen menunjukkan ada penonjolan atrium dan ventikel kiri, bila ada hipertensi pulmonal atau gagal jantung sisi kanan mencolok. Kongesti pembuluh-pembuluh darah perihiler, suatu tanda hipertensi vena pulmonalis, mungkin jelas, kalsifikasi katup mitral jarang pada anak.
(14). Ekokardiografi menunjukkan pembesaran atrium dan
ventrikel kiri.
(15). Pemeriksaan Doppler menunjukkan keparahan regurgitasi mitral.



4. Patofisiologi
Insufisiensi ini merupakan akibat perubahan struktural yang biasanya meliputi kehilangan bahan valvuler dan pemendekan serta penebalan kordae tendinea. Selama demam reumatik akut dengan keterlibatan jantung berat, gagal jantung kongestif paling sering disebabkan oleh gabungan pengaruh mekanik insufisiensi mitral berat bersama dengan penyakit radang yang dapat melibatkan perikardium, miokardium, endokardium, dan epikardium. Karena beban volume yang besar dan proses radang, ventrikel kiri menjadi besar dan tidak efisien. Atrium kiri dilatasi ketika darah beregurgitasi ke dalam ruangan ini. Kenaikan tekanan atrium kiri mengakibatkan kongesti pulmonal dan gejala-gejala gagal jantung sisi kiri. Pada kebanyakan kasus insufisiensi mitral ada dalam kisaran ringan sampai sedang. Bahkan, pada penderita-penderita yang pada permulaannya insufisiensi berat, biasanya kemudian ada perbaikan spontan. Hasilnya lesi kronis paling sering ringan atau sedang, dan penderita akan tidak bergejala. Lebih separuh penderita dengan insufisiensi mitral selama serangan akut akan tidak lagi mempunyai bising akibat mitral setahun kemudian. Namun, pada penderita dengan insufesiensi mitral kronis, berat, tekanan arteri pulmonalis menjadi naik, pembesaran ventrikel dan atrium kanan yang selanjutnya akan terjadi gagal jantung sisi kanan.

5. Komplikasi
a. Efusi pleura.
b. Hemoptisis.
c. Atelektasis.
d. PPOK/COPD.

6. Pemeriksaan penunjang
a. Anamnesa dan pemeriksaan fisik
b. Laboratorium darah rutin (LED normal atau meningkat, limfositosis).
c. Foto thorak bila didapat gambaran :
(1). Bayangan lesi terletak di lapangan atas paru.
(2). Bayangan berawan (patchy) atau bebercak (noduler).
(3). Adanya kavitas, tunggal atau ganda.
(4). Kelainan bilatera, terutama di lapangan atas paru.
(5). Adanya kalsifikasi.
(6). Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian.
(7). Bayangan millier terutama pada anak (TB milier).
d. Pemeriksaan sputum BTA didapat tidak sensitif, hampir 70 % pasien TB yang dapat didiagnosis pada pemeriksaan ini.
e. Mountoux test / tes tuberkulin.
f. Tes PAP (Peroksidase Anti Peroksidase).
g. Teknik polymerasechain reaction.
h. Becton dickinson diagnostik instrumen system (BACTEC).
i. Enzil linked immunoserbent assay, merupakan deteksi respon humoral berupa proses antigen – antibodi.
j. Mycodot, merupakan deteksi antibodi dengan memakai antigen lipoarabino mannan.
k. Pemeriksaan serologi.

Pasien demam reumatik 80 % mempunyai ASTO positif. Ukuran proses inflamasi dapat dilakukan dengan pengukuran LED dan protein C- reaktif.

7. Penatalaksanaan
a. OAT dengan kombinasi minimal dua obat yang bakterisida.
b. Mencegah kekambuhan dengan sterilisasi.
c. Memperbaiki imunitas tubuh.
d. Memutus mata rantai penularan.


Antituberkulose dibagi dalam dua kelompok :
a. Obat-obat jalur pertama (biasa digunakan) :
(1). Rifampisin (R).
(2). Isoniazid (INH).
(3). Pirazinamid (P).
(4). Steptomisin (S).
(5). Etambutol (E).
b. Obat-obat jalur kedua (jarang dipakai karena sebagian bersifat toksik) :
(1). Aminoglikosida lain : amikasin, kanamisin, kapreomisin.
(2). Florokuinolon : ciprofloksasin, levofloksasin.
(3). Asam paraamino salisilat (PAS).

Obat yang biasa digunakan :
a. Bakterisida :
(1). Rifampisin (R).
(2). Isoniazid (INH).
(3). Pirazinamid (P).
(4). Steptomisin (S).
b. Bakteristatik :
(1). Etambutol (E).
Panduan OAT (WHO 1993) :
a. Kategori I : BTA (+), sakit berat BTA (-) luar paru :
(1). Fase awal : 2 RHZE (S).
(2). Fase lanjut : 4 RH atau 4 R3H3.
b. Kategori II : Pengobatan ulang :
(1). Kambuh BTA (+) : 2 RHZE dan 5 RHE.
(2). Gagal : 2 RHZE dan dilanjutkan 5 R3H3E3.
c. Kategori III :
(1). TB paru BTA (-) : 2 RHZ dan 4 RH.
(2). Tb luar paru : 2 RHZ / 2 R3H3Z3 dan 4 R3H3.

Dosis :
a. Rifampisin : 10 mg/kgBB maksimal 600 mg/hari.
b. Isoniazid/INH : 5 mg/kgBB maksimal 300 mg/hari.
c. Pirazinamid : 15 – 30 mg/kgBB maksimal 2 g/hari.
d. Etambutol : 15 – 30 mg/kgBB maksimal 2,5 g/hari.
e. Streptomisin : 15 mg/kgBB maksimal 1 g/hari.
Catatan : Etambutol tidak boleh diberikan kepada anak <> 30 Kg dan 600.000 – 900.000 unit bila berat badan <> 8 hari (NCB) atau 14 hari (NKB).
2. Etiologi
a. Produksi bilirubin berlebihan.
b. Gangguan pengambilan dan pengangkutan bilirubin dalam hepatosit.
c. Gagalnya proses konyugasi dalam mikrosom hepar.
d. Gangguan dalam ekskresi.
e. Peningkatan reabsorbsi dari saluran cerna (siklus enterohepatik).
3. Manifestasi Klinis.
Penyakit hiperbilirubinemia bergantung pada derajat antibodi ibu dan banyaknya sel darah merah yang mengalami lisis pada bayi.
a. Apabila penyakitnya ringan, maka kulit tampak sedikti pucat dan hati mungkin sedikit membesar.
b. Apabila penyakitnya parah, maka akan dijumpai ikterus, hepatomegali. Selain itu, akan dijumpai gejala-gejala klasik anemia, termasuk peningkatan kecepatan denyut jantung dan pernapasan.

4. Pemeriksaan penunjang.
a. Pada penyakit yang parah, analisis darah akan memperlihatkan anemia berat dan kadar bilirubin tidak terkonjugasi yang sangat tinggi.
b. Uji Coombs tidak langsung yang mengukur antibodi ibu terhadap antigen Rh akan memberi hasil positif, yang membuktikan bahwa ibu telah terpajan ke antigen yang bersangkutan.
c. Uji Coombs langsung yang mengukur antibodi ibu yang terikat ke sel darah merah janin atau bayi akan memastikan adanya penyakit haemolitik.terhadap antigen Rh akan memberi hasil positif, yang membuktikan bahwa ibu telah terpajan
ke antigen yang bersangkutan.

5. Penatalaksanaan.
Pada dasarnya, pengendalian kadar bilirubin serum adalah sebagai berikut :
a. Stimulasi proses pengendalian bilirubin dengan mempergunakan fenolbarbital. Obat ini bekerjanya sangat lambat, sehingga hanya bermanfaat apabila kadar bilirubinnya rendah dan ikterus yang terjadi bukan disebabkan oleh proses hemolitik. Obat ini sudah jarang dipakai lagi.
b. Menambahkan bahan yang kurang dalam proses metabolisme bilirubin (misalnya menambahkan glukosa pada keadaan hipoglikemia), atau menambahkan bahan untuk memperbaiki transportasi bilirubin (misalnya albumin). Penambahan albumin boleh dilakukan walaupun tidak terdapat hipoalbuminemia. Tetapi perlu diingat adanya zat-zat yang merupakan kompetitor albumin yang juga dapat mengikat bilirubin (misalnya sulfonamida atau obat-obatan lainnya). Penambahan albumin juga dapat mempermudah proses ekstraksi bilirubin jaringan ke dalam plasma. Hal ini mengakibatkan kadar bilirubin plasma meningkat, tetapi tidak berbahaya karena bilirubin tersebut ada dalam ikatan dengan albumin. Albumin diberikan dalam dosis yang tidak melebihi 1 g/kgBB, sebelum maupun sesudah tindakan transfusi tukar.
c. Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan oral dini.
d. Memberikan terapi sinar sehingga bilirubin diubah menjadi isomer foto yang tidak toksik dan mudah dikeluarkan dari tubuh karena mudah larut dalam air.
e. Mengeluarkan bilirubin secara mekanik melalui transfusi tukar.
Indikasi transfusi tukar dini : (1) hidrops, (2) adanya riwayat penyakit yang berat, dan (3) adanya riwayat sensitisasi. Tujuannya adalah (1) mengkoreksi anemia, (2) menghentikan hemolisis, (3) mencegah peningkatan bilirubin. Pada situasi penyakit hemolitik, pertimbangkan dilakukan transfusi tukar dini adalah :
(1). Kadar bilirubin tali pusat melebihi 4,5 mg/dl, kadar Hb tali pusat <> 15.000/mm3. janin yang mengalami takikardi, mungkin infeksi untrauterine.
d. Tentukan tanda-tanda inpartu, tentukan adanya kontraksi yang teratur. Periksa dalam dilakukan bila akan dilakukan penanganan aktif (terminasi kehamilan) antara lain untuk menilai skor pelvic.

6. Penatalaksanaan
a. Konservatif.
1). Rawat di Rumah Sakit.
2). Berikan antibiotik (ampisilin 4 x 500 mg atau eritromisin bila tak tahan ampisilin) dan metronidazol 2 x 500 mg selama 7 hari.
3). Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah in partu, tidak ada infeksi, berikan tokolitik (salbutamol), deksametason dan induksi sesudah 24 jam.
4). Jika usia kehamilan 32-37, ada infeksi, beri antibiotik dan lakukan induksi.
5). Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intrauterin).
6). Pada usia kehamilan 32-34 minggu berikan steroid, untuk memacu kematangan paru janin dan kalau memungkinkan periksa kadar lesitin dan spingiomielin tiap minggu. Dosis betametason 12 mg sehari dosis tunggal selama 2 hari, deksametason IM 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali.
b. Aktif.
1). Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila gagal seksio sesaria. Dapat pula diberikan misoprostol 50 µg intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali.
2). Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotik dosis tinggi dan persalinan diakhiri.
3). Bila skor pelvic > 5, induksi persalinan.
(www.bidan2009.blogspot.com).

7. Komplikasi.
a. Terhadap janin
Walaupun ibu belum menunjukkan gejala-gejala infeksi tetapi janin mungkin sudah terkena infeksi, karena infeksi intrauterine terlebih dahulu terjadi (amniotomi, vaskulitis) sebelum gejala pada ibu dirasakan. Jadi, akan meninggikan mortalitas dan morbiditas perinatal.
IUFD dan IPFD, asfiksia dan prematuritas.
b. Terhadap ibu.
Karena jalan lahir telah terbuka, maka dapat terjadi infeksi intrapartal, apalagi bila terlalu sering periksa dalam. Selain itu juga dapat dijumpai infeksi puerpuralis (nifas), peritonitis dan septicemia, serta dry-labor.
Ibu akan merasa lelah karena berbaring ditempat tidur, partus akan menjadi lama, maka suhu badan naik, nadi cepat dan nampaklah gejala-gejala infeksi.
Partus lama dan infeksi, atonia uteri, perdarahan post partum atau infeksi nifas.

8. Prognosis.
Ditentukan oleh cara penatalaksanaan dan komplikasi-komplikasi yang mungkin timbul serta umur dari kehamilan.

KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU (KET)


1. Definisi
Kehamilan ektopik adalah implantasi dan pertumbuhan hasil konsepsi di luar endometrium kavum uteri. (Arif Mansjoer, 2000).
Kehamilan ektopik adalah kehamilan dengan ovum yang dibuahi, berimplantasi dan tumbuh tidak di tempat yang normal yakni dalam endometrium kavum uteri. (Hanifa Wikngosastro.1994).
Kehamilan ektopik adalah penyebab perdarahan berat lainnya yang penting. (Erica Royton. 1994).

2. Etiologi
a. Faktor tuba falopi yaitu salpingitis, perlekatan tuba, kelainan kongenital tuba, pembedahan sebelumnya, endometriosis, tumor yang mengubah bentuk tuba, dan kehamilan ektopik sebelumnya.
b. Kelainan zigot, yaitu kelainan kromosom dan malformasi.
c. Faktor ovarium, yaitu migrasi luar ovum (perjalanan ovum dari ovarium kanan ke tuba kiri atau sebaliknya), pembesaran ovarium, dan unextruded ovum.
d. Penggunaan hormon ekstrogen (estrogen) seperti pada kontrasepsi oral.
e. Faktor lain, antara lain absorbsi tuba dan pemakaian IUD.

3. Patofisiologi.
Kehamilan ektopik dapat berupa kehamilan tuba, kehamilan ovarium, kehamilan intraligamenter, kehamilan servikal, dan kehamilan intraabdominal yang paling sering terjadi adalah kehamilan tuba. Kehamilan tuba dapat terjadi pada pars interstisialis, pars ismika, pars ampularis, dan infundibulum tuba.
Hasil konsepsi bernidasi kolumnar atau interkolumnar dan biasanya akan terganggu pada kehamilan 6-10 minggu, berupa :
a. Hasil konsepsi mati dan di resobrsi.
b. Abortus ke dalam lumen tuba.
c. Ruptur dinding tuba.
Uterus menjadi lembek dan besar, endometrium dapat berubah menjadi residu karena pengaruh estrogen dan progesteron dari korpus luteum gravidictalis dan trofobias. Pada endometrium juga dapat ditemukan fenomena Arias-Stella.

4. Manifestasi klinis.
a. Amenore.
b. Gejala kehamilan muda.
c . Nyeri perut bagian bawah pada ruptur tuba nyeri terjadi tiba-tiba dan hebat, menyebabkan penderita pingsan sampai syok, pada abortus tuba nyeri mula-mula pada satu sisi, menjalar ke tempat lain. Bila darah sampai ke diagfrahma bisa menyebabkan nyeri bahu, dan bila terjadi hematokel retrouterma terdapat nyeri defekasi.
d. Perdarahan pervaginam berwarna cokelat tua.

5. Pemeriksaan penunjang.
a. Pemeriksaan laboratorium : kadar Hb, Leukosit, tes kehamilan bila baru terganggu.
b. Dilatasi kuretase.
c. Kuldo sintesis, yaitu suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah di bawah kavum Douglas terdapat darah. Teknik Kuldosentesis :
(1). Baringkan pasien dalam posisi litotomi.
(2). Bersihkan vulva dan vagina dengan antiseptik.
(3). Pasang spekulum dan jepit bibir belakang dengan cunam serviks, lakukan traksi ke depan sehingga forniks posterior tampak.
(4). Suntikkan jarum spinal no 18 ke kavum Douglas dan lakukan pengisapan dengan sempri 10 ml.
(5). Bila pada pengisapan ke luar darah, perhatikan apakah darahnya berwarna cokelat sampai hitam yang tidak membeku atau berupa bekuan kecil yang merupakan tanda hematokel retrouterina.
d. Ultrasonografi berguna pada 5-10 % kasus-kasus bila ditemukan kantong gestasi di luar uterus.
e. Laparoskopi atau laparotomi sebagai pendekatan diagnosa terakhir.

6. Diagnosis.
Penegakkan diagnosa pada kehamilan ektopik belum terganggu sulit sehingga memerlukan pemeriksaan penunjang. Untuk mendiagnosa yaitu USG, Laparoskopi, atau Kuldoskopi.
Penegakkan diagnosa pada kehamilan ektopik terganggu didapatkan dari :
a. Anamnesis : amenore dan kadang terdapat tanda hamil muda, nyeri perut bagian bawah, nyeri bahu, tenesmus, dan perdarahan pervaginam setelah nyeri perut bagian bawah.
b. Pemeriksaan umum : penderita tampak kesakitan dan pucat, pada perdarahan dalam rongga perut.
c. Pemeriksaan ginekologi : ditemukan tanda-tanda kehamilan muda, rasa nyeri pada pergerakan servik, uterus dengan batas yang sukar ditemukan, kavum Douglas menonjol, berisi darah dan nyeri bila diraba.
d. Pemeriksaan laboratorium : Hb menurun setelah 24 jam dan jumlah sel darah merah dapat meningkat.

7. Diagnosa Banding.
Infeksi pelvik, abortus iminens atau incipiens, kista ovarium, ruptur korpus luteum, kista folikel, dan apendiksitis.

8. Penatalaksanaan.
Pasien di rujuk ke rumah sakit, di rumah sakit dilakukan :
a. Laparotomi.
b. Salpingektomi/salpingostomi/reanastomisis tuba.
c. Kemoterapi dengan metotreksat 1 mg/kg IV dan faktor Sitrovorum 0,1 mg/kg IM berselang seling selama 8 hari bila kehamilan di pars ampularis tuba belum pecah, diameter kantong gestasi kurang atau sama dengan 4 cm, perdarahan dalam rongga perut kurang dari
100 ml, dan tanda vital baik.

9. Prognosis.
Kematian karena kehamilan ektopik cenderung turun dengan diagnosis dini dan persediaan darah yang cukup. Sebagian wanita menjadi steril setelah mengalami kehamilan ektopik lagi pada tuba sisi lain. Angka kehamilan ektopik berulang dilaporkan 0-14,6 %.

INFERTILITAS


1. Definisi
Infertilitas adalah bila sepasang suami istri, setelah bersenggama secara teratur (2-3 x/minggu), tanpa memakai metode pencegahan, belum mengalami kehamilan selama satu tahun. (Arif Mansjoer : 389).
Kira-kira 10 % pasangan suami istri yang mencari nasihat medis dinggap infertil setelah dua tahun hidup sebagai suami istri, mereka tetap belum mempunyai anak. (Sylvia Veralls : 199).
Infertilitas adalah kemandulan. (Kamus kedokteran).
Apabila terdapat masalah seksual, maka dinasihatkan untuk melakukan konseling psikoseksual dan pendidikan, dan pasangan tersebut dirujuk ke klinik yang sesuai. Keterangan rinci mengenai riwayat menstruasi adalah penting perlu untuk mengetahui apakah siklus menstruasi teratur, dan apakah pernah terjadi pembuahan (konsepsi). Apabila wanita pernah hamil, apakah kehamilan tersebut terjadi secara spontan, karena pemberian terapi, atau karena digugurkan (terminasi).

2. Etiologi
Faktor suami sebesar 25-40 %, istri 40-55 %, keduanya 10 %, dan idiopatik 10 %.
Kelainan pada semen, gangguan evaluasi, cedera tuba, hambatan atau perlengketan tuba, endometriosis, gangguan interaksi sperma sekret serviks. Kelainan yang jarang seperti kelainan uterus, gangguan imunologi, infeksi, dan idiopatik.

3. Patofisiologi.
a. Wanita.
Beberapa penyebab dari gangguan infertilitas dari wanita diantaranya gangguan stimulasi hipofisis hipotalamus yang mengakibatkan pembentukan FSH dan LH tidak adekuat sehingga terjadi gangguan dalam pembentukkan folikel di ovarium.
b. Pria.
Abnormalitas androgen dan testosteron diawali dengan disfungsi hipotalamus dan hipofisis yang mengakibatkan kelainan status fungsional testis. Gaya hidup memberikan peran yang besar dalam mempengaruhi infertilitas diantaranya merobek, penggunaan obat-obatan dan zat adiktif yang berdampak pada abnormalitas sperma dan penurunan libido.

4. Manifestasi Klinis.
a. Wanita.
1). Terjadi kelainan sistem endokrin.
2). Hipomenore dan amenore.
3). Wanita dengan sindrom Turner biasanya pendek, memiliki payudara yang tidak berkembang, dan gonadnya abnormal.
4). Wanita infertil tidak memiliki uterus.
5). Motilitas tuba dan ujung fimbrienya dapat menurun atau hilang akibat infeksi, adhesi, atau tumor.
6). Traktus reproduksi internal yang abnormal.
b. Pria.
1). Riwayat terpajan benda-benda mutan yang membahayakan reproduksi.
2). Status gizi dan nutrisi terutama kekurangan protein dan vitamin tertentu.
3). Riwayat infeksi genitosorinaria.
4). Hipertiroidisme dan hipotiroid.
5). Tumor hipofisis.
6). Disfungsi ereksi berat.
7). Ejakulasi retrograd.
8). Mikropenis.
9). Gangguan spermatogenesis.
10).Hernia scrotalis.
11).Abnormalitas cairan semen.

5. Pemeriksaan penunjang.
a. Wanita.
1). Deteksi ovulasi.
2). Analisa hormon.
3). Sitologi vagina.
4). Uji pasca senggama.
5). Biopsi endometrium terjadwal.
6). Histerosalpinxgrafi.
7). Laparoskopi.
8). Pemeriksaan pelvis ultrasound.
b. Pria.
1). Analisa lepas.
2). Pemeriksaan endokrin.
3). USG.
4). Biopsi testis.
5). Uji penetrasi sperma.

6). Uji hemizona.

6. Penatalaksanaan
a. Wanita.
1). Pengetahuan tentang siklus menstruasi, gejala lendir serviks puncak dan waktu yang tepat untuk coitus.
2). Pemberian terapi obat.
3). GIFT (Gemete intrafallopian transfer).
4). Laparotomi dan bedah mikro untuk memperbaiki tuba yang rusak secara luas.
5). Bedah plastik misalnya penyatuan uterus bikonuate.
6). Pengangkatan tumor.
7). Eliminasi vaginitis.

b. Pria.
1). Penekanan produksi sperma untuk mengurangi jumlah antibodi autoimun, diharapkan kualitas sperma meningkat.
2). Agen antimikroba.
3). HCG : memperbaiki hipogonadisme.
4). FSH dan HCG untuk menyelesaikan spermatogenesis.
5). Bromokriptin untuk mengobati tumor.
6). Klomifen untuk mengatasi subfertilitas idiopatik.
7). Perbaikian varikel menghasilkan perbaikan kualitas sperma.

TUBERCULOSIS (TBC)

1. Definisi

Tuberculosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis dengan gejala yang sangat bervariasi (Mansjoer, Arief, 2000 : 472).

2. Etiologi

Penyakit TBC disebabkan oleh Mycobakterium Tuberculosis.

3. Manifestasi Klinis

a. Asimptomatis.

b. Gejala TB paru yang khas, kemudian stagnasi dan regresi.

c. Eksaserbasi yang memburuk.

d. Gejala berulang dan menjadi kronik.

Gejala utama meliputi :

a. Batuk lebih dari dua minggu.

b. Batuk dengan atau tanpa sputum.

c. Malaise.

d. Gejala flu.

e. Demam ringan.

f. Nyeri dada.

g. Hemaptoe.

4. Patofisiologi

(1). Tanda-tanda gagal jantung tidak akan ada.

(2). Prekordium akan tenang

(3). Auskultasi akan menunjukkkan bising holosistolik di apeks, menjalar ke aksila.

(4). EKG normal

(5). Rontgen normal

b. Pada insufisiensi mitral berat

(1). Tanda-tanda gagaj jantung kongestif kronis

(2). Kelelahan.

(3). Penambahan berat

(4). Lemah

(5). Dipsnea pada saat kerja

(6). Jantung membesar dengan impuls prekordial ventrikel kiri apeks kuat angkat dan sering ada getaran (thrill) sistolik
di apeks.

(7). S1 normal

(8). S2 mungkin diperkuat jika ada hipertensi pulmonal.

(9). S3 biasanya jelas

(10). Jarang ada klik ejeksi mid sistolik seperti ditemukan pada prolaps katup mitral nonreumatik.

(11). Bising holosistolik terdengar di apeks menjalar ke aksila
dan sternum.

(12). EKG menunjukkan gelombang P bifid yang mencolok, tanda-tanda hipertropi ventrikel kiri dan disertai hipertropi ventrikel kanan jika ada hipertensi pulmonal.

(13). Rontgen menunjukkan ada penonjolan atrium dan ventikel kiri, bila ada hipertensi pulmonal atau gagal jantung sisi kanan mencolok. Kongesti pembuluh-pembuluh darah perihiler, suatu tanda hipertensi vena pulmonalis, mungkin jelas, kalsifikasi katup mitral jarang pada anak.

(14). Ekokardiografi menunjukkan pembesaran atrium dan
ventrikel kiri.

(15). Pemeriksaan Doppler menunjukkan keparahan regurgitasi mitral.

4. Patofisiologi

Insufisiensi ini merupakan akibat perubahan struktural yang biasanya meliputi kehilangan bahan valvuler dan pemendekan serta penebalan kordae tendinea. Selama demam reumatik akut dengan keterlibatan jantung berat, gagal jantung kongestif paling sering disebabkan oleh gabungan pengaruh mekanik insufisiensi mitral berat bersama dengan penyakit radang yang dapat melibatkan perikardium, miokardium, endokardium, dan epikardium. Karena beban volume yang besar dan proses radang, ventrikel kiri menjadi besar dan tidak efisien. Atrium kiri dilatasi ketika darah beregurgitasi ke dalam ruangan ini. Kenaikan tekanan atrium kiri mengakibatkan kongesti pulmonal dan gejala-gejala gagal jantung sisi kiri. Pada kebanyakan kasus insufisiensi mitral ada dalam kisaran ringan sampai sedang. Bahkan, pada penderita-penderita yang pada permulaannya insufisiensi berat, biasanya kemudian ada perbaikan spontan. Hasilnya lesi kronis paling sering ringan atau sedang, dan penderita akan tidak bergejala. Lebih separuh penderita dengan insufisiensi mitral selama serangan akut akan tidak lagi mempunyai bising akibat mitral setahun kemudian. Namun, pada penderita dengan insufesiensi mitral kronis, berat, tekanan arteri pulmonalis menjadi naik, pembesaran ventrikel dan atrium kanan yang selanjutnya akan terjadi gagal jantung sisi kanan.

5. Komplikasi

a. Efusi pleura.

b. Hemoptisis.

c. Atelektasis.

d. PPOK/COPD.

6. Pemeriksaan penunjang

a. Anamnesa dan pemeriksaan fisik

b. Laboratorium darah rutin (LED normal atau meningkat, limfositosis).

c. Foto thorak bila didapat gambaran :
(1). Bayangan lesi terletak di lapangan atas paru.

(2). Bayangan berawan (patchy) atau bebercak (noduler).

(3). Adanya kavitas, tunggal atau ganda.

(4). Kelainan bilatera, terutama di lapangan atas paru.

(5). Adanya kalsifikasi.

(6). Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian.

(7). Bayangan millier terutama pada anak (TB milier).

d. Pemeriksaan sputum BTA didapat tidak sensitif, hampir 70 % pasien TB yang dapat didiagnosis pada pemeriksaan ini.

e. Mountoux test / tes tuberkulin.

f. Tes PAP (Peroksidase Anti Peroksidase).

g. Teknik polymerasechain reaction.

h. Becton dickinson diagnostik instrumen system (BACTEC).

i. Enzil linked immunoserbent assay, merupakan deteksi respon humoral berupa proses antigen – antibodi.

j. Mycodot, merupakan deteksi antibodi dengan memakai antigen lipoarabino mannan.

k. Pemeriksaan serologi.

Pasien demam reumatik 80 % mempunyai ASTO positif. Ukuran proses inflamasi dapat dilakukan dengan pengukuran LED dan protein C- reaktif.

7. Penatalaksanaan

a. OAT dengan kombinasi minimal dua obat yang bakterisida.

b. Mencegah kekambuhan dengan sterilisasi.

c. Memperbaiki imunitas tubuh.

d. Memutus mata rantai penularan.

Antituberkulose dibagi dalam dua kelompok :

a. Obat-obat jalur pertama (biasa digunakan) :

(1). Rifampisin (R).

(2). Isoniazid (INH).

(3). Pirazinamid (P).

(4). Steptomisin (S).

(5). Etambutol (E).

b. Obat-obat jalur kedua (jarang dipakai karena sebagian bersifat toksik) :

(1). Aminoglikosida lain : amikasin, kanamisin, kapreomisin.

(2). Florokuinolon : ciprofloksasin, levofloksasin.

(3). Asam paraamino salisilat (PAS).

Obat yang biasa digunakan :

a. Bakterisida :

(1). Rifampisin (R).

(2). Isoniazid (INH).

(3). Pirazinamid (P).

(4). Steptomisin (S).

b. Bakteristatik :

(1). Etambutol (E).

Panduan OAT (WHO 1993) :

a. Kategori I : BTA (+), sakit berat BTA (-) luar paru :

(1). Fase awal : 2 RHZE (S).

(2). Fase lanjut : 4 RH atau 4 R3H3.

b. Kategori II : Pengobatan ulang :

(1). Kambuh BTA (+) : 2 RHZE dan 5 RHE.

(2). Gagal : 2 RHZE dan dilanjutkan 5 R3H3E3.

c. Kategori III :

(1). TB paru BTA (-) : 2 RHZ dan 4 RH.

(2). Tb luar paru : 2 RHZ / 2 R3H3Z3 dan 4 R3H3.

Dosis :

a. Rifampisin : 10 mg/kgBB maksimal 600 mg/hari.

b. Isoniazid/INH : 5 mg/kgBB maksimal 300 mg/hari.

c. Pirazinamid : 15 – 30 mg/kgBB maksimal 2 g/hari.

d. Etambutol : 15 – 30 mg/kgBB maksimal 2,5 g/hari.

e. Streptomisin : 15 mg/kgBB maksimal 1 g/hari.

Catatan : Etambutol tidak boleh diberikan kepada anak <>

Efek samping obat :

a. Rifampisin : ikterus, flu- like syndrome, Redman syndrome, supresi imunitas, reaksi hipersensitifitas.

b. INH : neuritis perifer, ikterus, hipersensitifitas (alergi), dll.

c. Pirazinamid : gangguan hati, gout, atralgia, anoreksia, dll.

d. Streptomisin : reasi hipersensitifitas, gangguan vestibuler, N VIII, gangguan ginjal.

e. Etambutol : neuritis optik, gout, gatal, nyeri sendi, halusinasi, dll.


KONJUNGTIVITIS

1. Definisi

Arif Mansjoer, (2001: 51) mengatakan :

Konjungtivitis bakterial adalah radang konjungtiva yang disebabkan oleh bakteri, mudah menular.

Elizabeth J. Corwin, (2001: 217) mengatakan :

Konjungtivitis adalah peradangan konjungtivita akibat suatu proses infeksi atau respons alergi.

2. Etiologi

a. Stafilokokus.

b. Streptokokus.

c. Corynobacterium diphtheriae.

d. Pseudomonas aeruginosa.

e. Neiseria gonorrhea.

f. Haemophilus influenza.

3. Patofisiologi / W.O.C

Mikroorganisme (virus, bakteri, dan jamur), bahan alergen.

Resti infeksi (penularan)

Iritasi pada kelopak mata.

Kelopak mata tidak dapat menutup dan membuka sempurna.

- mata jadi kering.

Kurang pengetahuan Konjungtivitis

perawatan mata.


Kronis Akut

Infeksi glandula lakrimalis pelebaran pembuluh darah

- Hipersekresi. - Adanya peradangan.

- Konjungtiva dan skelera - TIO meningkat. merah, edema, nyeri, sekret mukopurulental.

Saluran air mata/kanal schlem-

tersumbat. Gangguan rasa nyaman nyeri akut




aliran mata terganggu.

iskemia saraf optik. lapangan pandang berkurang.

Ulkus kornea . kabur dan pusing.


Kebutaan. Gangguan persepsi penglihatan.




Sumber : http ://harnawatiaj.wordpress.com.

4. Manifestasi Klinis.

a. Konjungtiva bulbi hiperemis.

b. Lakrimasi.

c. Eksudat dengan sekret mukopurolen terutama di pagi hari.

d. Pseudoptosis akibat pembengkakkan kelopak.

e. Kemosis.

f. Hipertrofi papil.

g. Folikel.

h. Pseudomembaran.

i. Granulasi.

j. Flikten.

k. Mata seperti ada benda asing.

l. Limfadenopati preaurikular.

m. Kadang disertai keratitis dan blefaritis.

(Sumber : Arif Mansjoer, 2001, hal 51).

Gambaran klinis :

a. Konjungtiva memerah dan membengkak.

b. Fotofobia (keengganan terhadap cahaya).

c. Rabas purulen sering dijumpai pada konjungtivitis karena bakteri. Infeksi dan rabas sering dimulai di satu mata dan menyebar ke mata yang lain. Mata mungkin tertutup oleh selaput kehijauan.

(Sumber : Elizabeth J. Corwin, 2001, hal : 218).

5. Pemeriksaan penunjang.

a. Pemeriksaan sediaan langsung dengan pewarnaan gram atau giemsa untuk mengetahui kuman penyebab dan uji sensitivitas.

b. Untuk diagnosis pasti konjungtivitis gonore dilakukan pemeriksaan sekret dengan pewarnaan Metilen Biru yang akan menunjukkan diplokokus di dalam sel leukosit. Dengan pewarnaan gram terlihat diplokukus gram negatif intra dan ekstraseluler. Pemeriksaan sensitivitas dilakukan pada agar darah dan coklat.

6. Penatalaksanaan.

a. Sebelum terdapat hasil pemeriksaan mikrobiologi, dapat diberikan antibiotik tunggal, seperti gentamisin, kloramfenikol, dan polimiksin, selama 3 – 5 hari. Kemudian bila tidak memberikan hasil, dihentikan dan menunggu hasil pemeriksaan.

b. Bila tidak ditemukan kuman dalam sediaan langsung, diberikan tetes mata antibiotika spektrum luas tiap jam disertai salep mata untuk tidur atau salep mata 4 – 5 kali sehari.

c. Untuk konjungtivitis gonore, pasien dirawat serta diberi penisilin salep dan suntikan. Untuk bayi dosisnya 50.000 unit/kgBB selama 7 hari. Sekret dibersihkan dengan kapas yang dibasahi air rebus bersih atau garam fisiologis setiap 15 menit dan diberi salep penisilin. Dapat diberikan penisilin tetes mata dalam bentuk larutan penisilin G 10.000 – 20.000 unit/ml setiap menit selama 30 menit, dilanjutkan setiap 5 menit selama 30 menit berikut, kemudian diberikan setiap 1 jam selama 3 hari. Antibiotik sistemik diberikan sesuai dengan pengobatan gonokokus. Tetapi dihentikan setelah pemeriksaan mikroskopik menunjukkan hasil negatif selama 3 hari berturut-turut.

7. Komplikasi.

a. Stafilokokus dapat menyebabkan blefarokonjungtivitis.

b. Gonokokus menyebabkan perforasi kornea dan endoftalmitis.

c. Meningokokus dapat menyebabkan septikemia atau meningitis.


PENYAKIT JANTUNG REUMATIK

1. Definisi

Penyakit jantung rematik merupakan penyakit yang ditandai dengan kerusakan pada katup jantung akibat serangan karditis reumatik akut yang berulang kali (Arif Mansjoer, hal : 451).

2. Etiologi

a. Infeksi bakteri

b. Infeksi virus (streptococcus beta hemolyticus grup A).

c. Jamur.

3. Manifestasi Klinis

a. Penyakit ringan

(1). Tanda-tanda gagal jantung tidak akan ada.

(2). Prekordium akan tenang

(3). Auskultasi akan menunjukkkan bising holosistolik di apeks, menjalar ke aksila.

(4). EKG normal

(5). Rontgen normal

b. Pada insufisiensi mitral berat

(1). Tanda-tanda gagaj jantung kongestif kronis

(2). Kelelahan.

(3). Penambahan berat

(4). Lemah

(5). Dipsnea pada saat kerja

(6). Jantung membesar dengan impuls prekordial ventrikel kiri apeks kuat angkat dan sering ada getaran (thrill) sistolik
di apeks.

(7). S1 normal

(8). S2 mungkin diperkuat jika ada hipertensi pulmonal.

(9). S3 biasanya jelas

(10). Jarang ada klik ejeksi mid sistolik seperti ditemukan pada prolaps katup mitral nonreumatik.

(11). Bising holosistolik terdengar di apeks menjalar ke aksila
dan sternum.

(12). EKG menunjukkan gelombang P bifid yang mencolok, tanda-tanda hipertropi ventrikel kiri dan disertai hipertropi ventrikel kanan jika ada hipertensi pulmonal.

(13). Rontgen menunjukkan ada penonjolan atrium dan ventikel kiri, bila ada hipertensi pulmonal atau gagal jantung sisi kanan mencolok. Kongesti pembuluh-pembuluh darah perihiler, suatu tanda hipertensi vena pulmonalis, mungkin jelas, kalsifikasi katup mitral jarang pada anak.

(14). Ekokardiografi menunjukkan pembesaran atrium dan
ventrikel kiri.

(15). Pemeriksaan Doppler menunjukkan keparahan regurgitasi mitral.

4. Patofisiologi

Insufisiensi ini merupakan akibat perubahan struktural yang biasanya meliputi kehilangan bahan valvuler dan pemendekan serta penebalan kordae tendinea. Selama demam reumatik akut dengan keterlibatan jantung berat, gagal jantung kongestif paling sering disebabkan oleh gabungan pengaruh mekanik insufisiensi mitral berat bersama dengan penyakit radang yang dapat melibatkan perikardium, miokardium, endokardium, dan epikardium. Karena beban volume yang besar dan proses radang, ventrikel kiri menjadi besar dan tidak efisien. Atrium kiri dilatasi ketika darah beregurgitasi ke dalam ruangan ini. Kenaikan tekanan atrium kiri mengakibatkan kongesti pulmonal dan gejala-gejala gagal jantung sisi kiri. Pada kebanyakan kasus insufisiensi mitral ada dalam kisaran ringan sampai sedang. Bahkan, pada penderita-penderita yang pada permulaannya insufisiensi berat, biasanya kemudian ada perbaikan spontan. Hasilnya lesi kronis paling sering ringan atau sedang, dan penderita akan tidak bergejala. Lebih separuh penderita dengan insufisiensi mitral selama serangan akut akan tidak lagi mempunyai bising akibat mitral setahun kemudian. Namun, pada penderita dengan insufesiensi mitral kronis, berat, tekanan arteri pulmonalis menjadi naik, pembesaran ventrikel dan atrium kanan yang selanjutnya akan terjadi gagal jantung sisi kanan.

5. Komplikasi

Insufisiensi mitral berat dapat mengakibtkan gagal jantung yang dapat dipercepat oleh penjelekan proses reumatik, mulainya fibrilasi atruj dengan respons ventrikel cepat, atau endokarditis infektif. Sesudah bertahun-tahun, pengaruh insufisiensi mitral kronis dapat menjadi nyata secara klinis tanpa kejadian reumatik baru. Gagal jantung sisi kanan dapat disertai dengan insufisiensi katup trikuspidalis atau pulmonal. Kadang-kadang tampak ekstrasistole atrium atau ventrikel. Fibrilasi atrium lebih sering bila insufisiensi mitral desertai degan atrium kiri yang besar. Penderita dengan fibrilasi atrium biasanya memerlukan antikoagulasi untuk pencegahan tromboemboli dan stroke.

6. Pemeriksaan penunjang

Pasien demam reumatik 80 % mempunyai ASTO positif. Ukuran proses inflamasi dapat dilakukan dengan pengukuran LED dan protein C- reaktif.

7. Penatalaksanaan

Pada kebanyakan penderita dengan insufisiensi mitral, hanya diperlukanprofilaksis terhadap kuman demam reumatik karena lesi ringan dan ditoleransi dengan baik. Agen penurun beban pasca (afterload) seperti hidrazalin, captopril terutama mungkin berguna. Penanganan bedah terindikasi pada penderita yang walaupun terapi medik cukup, menderita episode gagal jantung berulang, dispnea pada aktivitas sedang, dan kardiomegali progresif, sering dengan hipertensi pulmonal. Walaupun anuloplasti memberikan hasil yang baik pada beberapa anak dan remaja, penggantian katup mungkin diperlukan. Aktivitas tidak harus dibatasi pada anak yang menderita kompetensi ringan. Profilaksis terhadap endokarditis, bakterial diperlukan pada penderita inis elama prosedur gigi atau pembedahan lain. Antibiotik rutin yang diminum oleh penderita untuk profilaksis demam reumatik tidak cukup untuk mencegah endokarditis.

Tatalaksana demam reumatik aktif atau reaktivasi adalah sebagai berikut:

a. Tirah baring dan movilisasi bertahap sesuai keadaan jantung.

b. Eradikasi terhadap kuman streptokukus dengan pemberian penisilin benzatin 1,2 juta unit IM bila berat badan > 30 Kg dan 600.000 – 900.000 unit bila berat badan <>

c. Antiinflamasi

Salisilat biasanya dipakai pada demam reumatik tanpa karditis dan ditambah kortikosteroid jika ada kelainan jantung. Pemberian salisilat dosis tinggi dapat menyebabkan intoksikasi dengan gejala tinitus dan hiperapnea. Untuk pasien dengan artralgia saja cukup diberikan analgesik.

Pada artritis sedang atau berat tanpa karditis atau tanpa karditis atau tanpa kardiomegali, salisilat diberikan 100 mg/kgBB/hari dengan maksimal 6 g/hari, dibagi dalam 3 dosis selama 2 minggu, kemudian dilanjutkan 75 mg/kgBB/hari selama 4-6 minggu kemudian.

Kortikosteroid diberikan pada pasien dengan karditis dan kardiomegali. Obat terpilih adalah prednison dengan dosis awal 2 mg/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis dan dosis maksimal 80 mg/hari. Bila gawat, diberikan metilprednisolon IV 10-40 mg diikuti prednison oral. Sesudah 2-3 minggu secara berkala pengobatan prednison dikurangi 5 mg setiap 2-3 hari. Secara bersamaan, salisilat dimulai dengan 75 mg/kgBB/hari dan dilanjutkan selama 6 minggu sesudah prednison dihentikan. Tujuannya untuk menghindari efek rebound atau infeksi streptokokus baru (Arief Mansur, hal :452).


DENGUE HAEMORAGIC FEVER (DHF)

1. Definisi

Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah penyakit demam akut dengan ciri-ciri demam manifestasi perdarahan, dan bertendensi mengakibatkan renjatan yang dapat menyebabkan kematian. (Arif Mansjoer, 2000, hal : 419).

DHF adalah infeksi yang disebabkan oleh albo virus dan ditularkan melalaui gigitan nyamuk Aedes Aegypti (Aedes Albovirus Aegypti).

Penyakit ini dapat meyerang semua orang dan dapat menyebabkan kematian terutama pada anak-anak. Infeksi oleh serotipe menimbulkan antibodi seumur hidup terhadap serotipe bersangkutan, tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe lain.

Puncak kasus DHF terjadi pada musin hujan yaitu bulan Desember sampai dengan bulan Maret. Apabila menemukan kasus DHF harus melapor segera (dalam waktu kurang dari 24 jam).

2. Etiologi

Virus dengue sejenis albovirus serotipe 1, 2, 3, dan 4 yang ditularkan melalui vektor nyamuk :

a. Aedes Aegypti.

b. Aedes Albopictus.

c. Aedes Polynesiensis.

3. Patofisiologi / W.O.C DHF

Infeksi virus dengue

Trombositopenia

Demam Hepatomegali Komplek Ag Ab

Anoreksia komplemen

Muntah Perubahan nutrisi

Manifestasi kurang dari Permeabilitas I

Perdarahan kebutuhan tubuh. vaskular naik

Dehidrasi Kebocoran Plasma :

Resiko gangguan keseim- - Hemokonsentrasi.

bangan cairan dan - Hipoproteimia. II

elektrolit. - Efusi pleura.

Demam dengue - Acites.

Hipertermi Hipovolemia

DIC Syok III Syok III

Perdarahan Anoksia Asidosis IV

Saluran cerna

Gangguan

Rasa nyaman meninggal

nyeri akut

Demam berdarah dengue derajat I – II – III – IV.

4. Manifestasi Klinis.

a. Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas, uji touniket positif.

b. Derajat II : Sama dengan derajat I, demam disertai gejala klinis (nyeri perut, nyeri sendi/otot, anoreksia dan badan lemah) adanya perdarahan spontan dan perdarahan lain.

c. Derajat III : Kegagalan sirkulasi (nadi cepat dan lambat, tekanan darah menurun, kulit dingin, lembab dan gelisah).

d. Derajat IV : Renjatan berat dan denyut nadi tidak dapat diraba dan tidak dapat diukur.

5. Pemeriksaan penunjang.

a. Pemeriksaan Hb.

b. Pemeriksaan Hematokrit.

c. Hitung Trombosit.

d. Uji serologi HI (Haemagglutination Inhibiting Antibody).

e. Dengue Blot.

6. Penatalaksanaan

a. Minum banyak 1,5 – 2 liter/24 jam.

b. Pemberian cairan infus apabila kesulitan minum dan nilai Hematokrit meningkat.

c. Antiseptik bila demam.

d. Pemberian antibiotik bila terdapat infeksi.

e. Periksa Hb, Ht dan trombosit setiap 6 jam.

7. Komplikasi.

a. Syok.

b. Enselopati dengue.

c. Peningkatan TIK.

d. Sepsis.

e. Anemia aplastik.


B B L R

1. Definisi

Definisi bayi pre-term dan berat-rendah didasarkan atas keputusan yang dicapai dalam kongres kedokteran perinatologi Eropah kedua (1970), yang menyatakan :

Bayi lahir hidup, dilahirkan sebelum 37 minggu dari hari pertama menstruasi terakhir, dianggap mempunyai masa gestasi yang diperpendek dan disebut sebagai prematur atau pre-term.

Bayi dengan berat 2.500 g atau kurang saat lahir dianggap sebagai mengalami masa gestasi yang diperpendek, maupun pertumbuhan intra-uterus kurang dari yang diharapkan, atau keduanya. Keadaan ini disebut sebagai bayi dengan berat lahir rendah.

Prematuritas dan BBLR biasanya terjadi secara bersamaan, terutama diantara bayi dengan berat 1.500 g atau kurang saat lahir. Keduanya berkaitan dengan terjadinya peningkatan morbiditas dan mortalitas neonatus.

2. Etiologi

a. faktor maternal.

Toksemia, hipertensi, malnutrisi atau penyakit kronis, misalnya diabetes mellitus. Pada umumnya, kelahiran prematur berkaitan dengan adanya kondisi di mana uterus tidak mampu untuk menahan fetus, misalnya pada pemisahan prematur, pelepasan plasenta dan infark dari plasenta.

b. Faktor fetal.

Kelainanal kromosomal (misalnya trisomi autosom), fetus multi ganda, cidera radiasi, dll, deformitas fetus makroskopik.

3. Patofisiologi / W.O.C

Ketidakmampuan uterus mempertahankan janin

Gangguan pada perjalanan kehamilan

Pelepasan plasenta prematur

Rangsangan yang tidak pasti yang menimbulkan

Kontraksi efektif pada uterus sebelum kehamilan

Infeksi bakteri bergejala Infeksi bakteri tak bergejala

(streptococcus grup B) (Chlamydia, Mycoplasma hominis)

Kelahiran Pre-term

Bayi BBLR

4. Manifestasi Klinis.

a. Kulit biasanya tipis,

b. Kulit bayi merah dan berkerut.

c. Ditemukan sedikit lemak subcutan.

d. Kuku lembut.

e. Lanugo mencolok tetapi terdapat sedikit atau tidak ditemukan vernix caseosa.

f. Rambut pendek dan jarang.

g. Alis mata sering kali tidak ada.

h. Tulang-tulang kubah tengkorak lunak.

i. Fontanel besar dan sutura lebar.

5. Pemeriksaan penunjang.

a. Perkiraan glukosa dextrostik.

b. Glukosa serum.

c. Sinar X dada.

d. AGD.

e. Jumlah darah lengkap (JDL).

f. Jumlah sel darah putih mungkin meningkat/turun.

g. Jumlah trombosit : mungkin turun jika ibu preeklampsia atau bila bayi lahir dengan infeksi virus kongenital.

h. Pemeriksaan koagulasi.

i. Golongan darah untuk kelompok ABO, Faktor Rh dan pencocokan silang.

j. Elektrolit serum.

k. Bilirubin.

l. Urinalisis pada/setelah pembuangan spesimen kedua, termasuk berat jenis dan gula/aseton : mengkaji homeostatis.

m. Kultur bakteri dan virus.

n. Elektrokardiografi, Echokardiografi, USG, Angiografi, dan pemeriksaan genetik.

6. Penatalaksanaan.

a. Perawatan inkubator.

b. Pemeriksaan pertumbuhan janin intrauteri.

c. Pemeriksaan kadar gula darah dengan dekstrosik atau laboratorium kalau hipoglikemia perlu diatasi.

d. Sebaiknya setiap jam hitung frekuensi pernapasan dan bila frekuensi lebih dari 60 x/I dibuat foto torak.

e. Pemberian Total parenteral.

7. Komplikasi.

a. Kematian janin intrauteri.

b. Asfiksia perinatal.

c. Hipoglikemia.

d. Polisitemia.

e. Hiperviskositas.

f. Konsumsi oksigen berkurang.

g. Hipotermia.

h. Dismorfologi.


HIPERBILIRUBIN

1. Definisi

Hiperbilirubinemia adalah ikterus (warna kuning pada kulit, konjungtiva, dan mukosa akibat penumpukan bilirubin) dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau enselopati bilirubin bila kadar bilirubin tidak terkendali. (Arif Mansjoer, 2001, hal : 503).

Ada beberapa keadaan ikterus yang cenderung menjadi patologik :

a. Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama setelah lahir.

b. Peningkatan kadar bilirubin serum sebanyak 5 mg/dl atau lebih setiap 24 jam.

c. Ikterus yang disertai :

(1). Berat lahir <>

(2). Masa gestasi <>

(3). Asfiksia, hipoksia, sindrom gawat napas pada neonatus.

(4). Infeksi.

(5). Trauma lahir pada kepala.

(6). Hipoglikemia, hiperkarbia.

(7). Hiperosmolaritas darah.

(8). Proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi G6PD, atau sepsis).

d. Ikterus klinis yang menetap setelah bayi berusia > 8 hari (NCB) atau 14 hari (NKB).

2. Etiologi

a. Produksi bilirubin berlebihan.

b. Gangguan pengambilan dan pengangkutan bilirubin dalam hepatosit.

c. Gagalnya proses konyugasi dalam mikrosom hepar.

d. Gangguan dalam ekskresi.

e. Peningkatan reabsorbsi dari saluran cerna (siklus enterohepatik).

3. Manifestasi Klinis.

Penyakit hiperbilirubinemia bergantung pada derajat antibodi ibu dan banyaknya sel darah merah yang mengalami lisis pada bayi.

a. Apabila penyakitnya ringan, maka kulit tampak sedikti pucat dan hati mungkin sedikit membesar.

b. Apabila penyakitnya parah, maka akan dijumpai ikterus, hepatomegali. Selain itu, akan dijumpai gejala-gejala klasik anemia, termasuk peningkatan kecepatan denyut jantung dan pernapasan.

4. Pemeriksaan penunjang.

a. Pada penyakit yang parah, analisis darah akan memperlihatkan anemia berat dan kadar bilirubin tidak terkonjugasi yang sangat tinggi.

b. Uji Coombs tidak langsung yang mengukur antibodi ibu terhadap antigen Rh akan memberi hasil positif, yang membuktikan bahwa ibu telah terpajan ke antigen yang bersangkutan.

c. Uji Coombs langsung yang mengukur antibodi ibu yang terikat ke sel darah merah janin atau bayi akan memastikan adanya penyakit haemolitik.terhadap antigen Rh akan memberi hasil positif, yang membuktikan bahwa ibu telah terpajan
ke antigen yang bersangkutan.

5. Penatalaksanaan.

Pada dasarnya, pengendalian kadar bilirubin serum adalah sebagai berikut :

a. Stimulasi proses pengendalian bilirubin dengan mempergunakan fenolbarbital. Obat ini bekerjanya sangat lambat, sehingga hanya bermanfaat apabila kadar bilirubinnya rendah dan ikterus yang terjadi bukan disebabkan oleh proses hemolitik. Obat ini sudah jarang dipakai lagi.

b. Menambahkan bahan yang kurang dalam proses metabolisme bilirubin (misalnya menambahkan glukosa pada keadaan hipoglikemia), atau menambahkan bahan untuk memperbaiki transportasi bilirubin (misalnya albumin). Penambahan albumin boleh dilakukan walaupun tidak terdapat hipoalbuminemia. Tetapi perlu diingat adanya zat-zat yang merupakan kompetitor albumin yang juga dapat mengikat bilirubin (misalnya sulfonamida atau obat-obatan lainnya). Penambahan albumin juga dapat mempermudah proses ekstraksi bilirubin jaringan ke dalam plasma. Hal ini mengakibatkan kadar bilirubin plasma meningkat, tetapi tidak berbahaya karena bilirubin tersebut ada dalam ikatan dengan albumin. Albumin diberikan dalam dosis yang tidak melebihi 1 g/kgBB, sebelum maupun sesudah tindakan transfusi tukar.

c. Mengurangi peredaran enterohepatik dengan pemberian makanan oral dini.

d. Memberikan terapi sinar sehingga bilirubin diubah menjadi isomer foto yang tidak toksik dan mudah dikeluarkan dari tubuh karena mudah larut dalam air.

e. Mengeluarkan bilirubin secara mekanik melalui transfusi tukar.

Indikasi transfusi tukar dini : (1) hidrops, (2) adanya riwayat penyakit yang berat, dan (3) adanya riwayat sensitisasi. Tujuannya adalah (1) mengkoreksi anemia, (2) menghentikan hemolisis, (3) mencegah peningkatan bilirubin. Pada situasi penyakit hemolitik, pertimbangkan dilakukan transfusi tukar dini adalah :

(1). Kadar bilirubin tali pusat melebihi 4,5 mg/dl, kadar Hb tali pusat <>

(2). Kecepatan kenaikan kadar bilirubin melebihi 1 mg/dl/jam walaupun telah dilakukan terapi sinar.

(3). Kadar haemoglobin antara 10 – 30 g/dl dan kenaikan kadar bilirubin melebihi 0,5 mg/dl/jam walaupun telah dilakukan terapi sinar.

(4). Kadar bilirubin 20 mg/dl, atau terlihat akan mencapai
20 mg/dl dengan kecepatan kenaikan seperti yang sedang berlangsung.

(5). Tetap terjadi anemia yang bertambah walaupun telah dilakukan tindakan mengatasi kenaikan bilirubin dengan cara lain (misalnya terapi sinar).

Tindakan transfusi tukar lanjut dilakukan apabila kadar bilirubin diduga dapat berubah menjadi toksik. Pengulangan transfusi tukar dapat terjadi apabila (1) setelah trasfusi tukar yang pertama selesai, kadar bilirubin masih juga menunjukkan kecepatan kenaikan lebin dari 1 mg/dl/jam, dan (2) terdapat anemia hemolitik berat yang menetap. Apabila kadar awal bilirubin melebihi 25 mg/dl, mungkin biasanya kadar bilirubin setelah transfusi tukar pertama akan masih tinggi dan perlu dilakukan transfusi tukar ulangan dalam 8 – 12 jam berikutnya. Terdapat perbedaan tatalaksana ikterus pada neonatus cukup bulan dan neonatus kurang bulan.

6. Komplikasi.

(1). Kernigterus, merupakan suatu kompleks gejala neurologis yang berkaitan dengan tingginya kadar bilirubin tidak terkonjugasi yang melewati sawar darah-otak dan mencapai susunan saraf pusat bayi. Gejala neurologis berupa perubahan perilaku dan letargi.

(2). Apabila kadar antibodi ibu sangat tinggi, janin dapat meninggal didalam rahim dalam suatu keadaan yang disebut hidrops fetalis. Hidrops fetalis ditandai oleh edema di seluruh tubuh janin.

(3). Asfiksia, hipoksia, sindrom gawat napas pada neonatus.

(4). Infeksi.

(5). Trauma lahir pada kepala.

(6). Hipoglikemia, hiperkarbia.

(7). Hiperosmolaritas darah.

(8). Proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi G6PD, atau sepsis).


KETUBAN PECAH DINI (KPD/KPSW)

1. Definisi

Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum in partu, yaitu bila pembukaan primi kurang dari 3 cm dan pada multipara kurang dari
5 cm. (Sarwono Prawiroharjo : 2005).

Ketuban pecah dini adalah keluarnya cairan berupa air-air dari vagina setelah kehamilan berusia 22 minggu dan ketuban dinyatakan pecah dini jika terjadi sebelum proses persalinan berlangsung. (Abdul Bari Saifuddin : 2002).

Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda persalinan, dan ditunggu satu jam belum dimulainya tanda persalinan, waktu sejak pecah ketuban sampai terjadi konstraksi rahim disebut “kejadian ketuban pecah dini” . (Ida Bagus Gde Manuaba : 1998).

2. Etiologi

Penyebab dari ketuban pecah dini tidak/belum jelas, maka preventif tidak dapat dilakukan, kecuali usaha menekan infeksi.

Penyebab ketuban pecah dini mempunyai dimensi multifaktorial yang dapat dijabarkan sebagai berikut :

a. Serviks inkompeten.

b. Ketegangan rahim berlebihan : kehamilan ganda, hidramnion.

c. Kelainan letak janin dalam rahim : letak sungsang, letak lintang.

d. Kemungkinan kesempitan panggul : perut gantung, bagian terendah belum masuk PAP, sefalopelvik disproforsi.

e. Kelainan bawaan dari selaput ketuban.

f. Infeksi yang menyebabkan terjadi proses biomekanik pada selaput ketuban dalam bentuk proteolitik sehingga memudahkan ketuban pecah.

Mekanisme terjadinya ketuban pecah dini dapat berlangsung sebagai berikut :

a. Selaput ketuban tidak kuat sebagai akibat kurangnya jaringan ikat dan vaskularasasi.

b. Bila terjadi pembukaan serviks maka selaput ketuban sangat lemah dan mudah pecah dengan mengeluarkan air ketuban.

3. Patofisiologi.

Taylor menyelidiki bahwa ada hubungan dengan hal-hal berikut :

a. Adanya hipermotilitas rahim yang sudah lama terjadi sebelum ketuban pecah. Penyakit-penyakit seperti pielonefritis, sistitis, sevisitis dan vaginitis terdapat bersama-sama dengan hipermotilitas rahim ini.

b. Selaput ketuban terlalu tipis (kelainan ketuban).

c. Infeksi (amnionitis atau korioamnionitis).

d. Faktor-faktor lain yang merupakan predisposisi ialah : multifara, malposisi, disproporsi, cervix incompetent, dll.

e. Ketuban pecah dini artificial (amniotomi), dimana ketuban dipecahkan terlalu dini.

4. Manifestasi Klinis.

a. Keluarnya cairan berupa air-air dari vagina setelah kehamilan berusia 22 minggu.

b. Ketuban dinyatakan pecah dini jika terjadi sebelum proses persalinan berlangsung.

c. Pecahnya selaput ketuban dapat terjadi pada kehamilan preterm sebelum kehamilan 37 minggu maupun kehamilan aterm.

d. Ketuban pecah tiba-tiba.

e. Cairan tampak di introitus.

f. Tidak ada his dalam 1 jam.

5. Pemeriksaan penunjang.

a. Memeriksa cairan yang berisi mekonium, verniks kaseosa, rambut lanugo atau bila telah terinfeksi berbau.

b. Inspekulo : lihat dan perhatikan apakah memang air ketuban keluar dari kanalis servikalis dan apakah ada bagian yang sudah pecah.

c. Gunakan kertas lakmus (litmus).

Bila menjadi biru (basa) = air ketuban.

Bila menjadi merah (asam) = air kemih (urin).

d. Pemeriksaan pH vorniks posterior pada ketuban pecah dini pH adalah basa (air ketuban).

e. Pemeriksaan histopatologi air (ketuban).

f. Aborization dan sitologi air ketuban.

Penilaian klinik :

a. Tentukan pecahnya selaput ketuban.

b. Tentukan usia kehamilan, bila perlu dengan pemeriksaan USG.

c. Tentukan ada tidaknya infeksi. Tanda-tanda infeksi : bila suhu ibu ≥ 380C, air ketuban yang keruh dan berbau. Pemeriksaan air ketuban dengan tes LEA. Leukosit Esterase / leukosit darah > 15.000/mm3. janin yang mengalami takikardi, mungkin infeksi untrauterine.

d. Tentukan tanda-tanda inpartu, tentukan adanya kontraksi yang teratur. Periksa dalam dilakukan bila akan dilakukan penanganan aktif (terminasi kehamilan) antara lain untuk menilai skor pelvic.

6. Penatalaksanaan

a. Konservatif.

1). Rawat di Rumah Sakit.

2). Berikan antibiotik (ampisilin 4 x 500 mg atau eritromisin bila tak tahan ampisilin) dan metronidazol 2 x 500 mg selama 7 hari.

3). Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah in partu, tidak ada infeksi, berikan tokolitik (salbutamol), deksametason dan induksi sesudah 24 jam.

4). Jika usia kehamilan 32-37, ada infeksi, beri antibiotik dan lakukan induksi.

5). Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intrauterin).

6). Pada usia kehamilan 32-34 minggu berikan steroid, untuk memacu kematangan paru janin dan kalau memungkinkan periksa kadar lesitin dan spingiomielin tiap minggu. Dosis betametason 12 mg sehari dosis tunggal selama 2 hari, deksametason IM 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali.

b. Aktif.

1). Kehamilan > 37 minggu, induksi dengan oksitosin, bila gagal seksio sesaria. Dapat pula diberikan misoprostol 50 µg intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali.

2). Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotik dosis tinggi dan persalinan diakhiri.

3). Bila skor pelvic > 5, induksi persalinan.

(www.bidan2009.blogspot.com).

7. Komplikasi.

a. Terhadap janin

Walaupun ibu belum menunjukkan gejala-gejala infeksi tetapi janin mungkin sudah terkena infeksi, karena infeksi intrauterine terlebih dahulu terjadi (amniotomi, vaskulitis) sebelum gejala pada ibu dirasakan. Jadi, akan meninggikan mortalitas dan morbiditas perinatal.

IUFD dan IPFD, asfiksia dan prematuritas.

b. Terhadap ibu.

Karena jalan lahir telah terbuka, maka dapat terjadi infeksi intrapartal, apalagi bila terlalu sering periksa dalam. Selain itu juga dapat dijumpai infeksi puerpuralis (nifas), peritonitis dan septicemia, serta dry-labor.

Ibu akan merasa lelah karena berbaring ditempat tidur, partus akan menjadi lama, maka suhu badan naik, nadi cepat dan nampaklah gejala-gejala infeksi.

Partus lama dan infeksi, atonia uteri, perdarahan post partum atau infeksi nifas.

8. Prognosis.

Ditentukan oleh cara penatalaksanaan dan komplikasi-komplikasi yang mungkin timbul serta umur dari kehamilan.


KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU (KET)

1. Definisi

Kehamilan ektopik adalah implantasi dan pertumbuhan hasil konsepsi di luar endometrium kavum uteri. (Arif Mansjoer, 2000).

Kehamilan ektopik adalah kehamilan dengan ovum yang dibuahi, berimplantasi dan tumbuh tidak di tempat yang normal yakni dalam endometrium kavum uteri. (Hanifa Wikngosastro.1994).

Kehamilan ektopik adalah penyebab perdarahan berat lainnya yang penting. (Erica Royton. 1994).

2. Etiologi

a. Faktor tuba falopi yaitu salpingitis, perlekatan tuba, kelainan kongenital tuba, pembedahan sebelumnya, endometriosis, tumor yang mengubah bentuk tuba, dan kehamilan ektopik sebelumnya.

b. Kelainan zigot, yaitu kelainan kromosom dan malformasi.

c. Faktor ovarium, yaitu migrasi luar ovum (perjalanan ovum dari ovarium kanan ke tuba kiri atau sebaliknya), pembesaran ovarium, dan unextruded ovum.

d. Penggunaan hormon ekstrogen (estrogen) seperti pada kontrasepsi oral.

e. Faktor lain, antara lain absorbsi tuba dan pemakaian IUD.

3. Patofisiologi.

Kehamilan ektopik dapat berupa kehamilan tuba, kehamilan ovarium, kehamilan intraligamenter, kehamilan servikal, dan kehamilan intraabdominal yang paling sering terjadi adalah kehamilan tuba. Kehamilan tuba dapat terjadi pada pars interstisialis, pars ismika, pars ampularis, dan infundibulum tuba.

Hasil konsepsi bernidasi kolumnar atau interkolumnar dan biasanya akan terganggu pada kehamilan 6-10 minggu, berupa :

a. Hasil konsepsi mati dan di resobrsi.

b. Abortus ke dalam lumen tuba.

c. Ruptur dinding tuba.

Uterus menjadi lembek dan besar, endometrium dapat berubah menjadi residu karena pengaruh estrogen dan progesteron dari korpus luteum gravidictalis dan trofobias. Pada endometrium juga dapat ditemukan fenomena Arias-Stella.

4. Manifestasi klinis.

a. Amenore.

b. Gejala kehamilan muda.

c . Nyeri perut bagian bawah pada ruptur tuba nyeri terjadi tiba-tiba dan hebat, menyebabkan penderita pingsan sampai syok, pada abortus tuba nyeri mula-mula pada satu sisi, menjalar ke tempat lain. Bila darah sampai ke diagfrahma bisa menyebabkan nyeri bahu, dan bila terjadi hematokel retrouterma terdapat nyeri defekasi.

d. Perdarahan pervaginam berwarna cokelat tua.

5. Pemeriksaan penunjang.

a. Pemeriksaan laboratorium : kadar Hb, Leukosit, tes kehamilan bila baru terganggu.

b. Dilatasi kuretase.

c. Kuldo sintesis, yaitu suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah di bawah kavum Douglas terdapat darah. Teknik Kuldosentesis :

(1). Baringkan pasien dalam posisi litotomi.

(2). Bersihkan vulva dan vagina dengan antiseptik.

(3). Pasang spekulum dan jepit bibir belakang dengan cunam serviks, lakukan traksi ke depan sehingga forniks posterior tampak.

(4). Suntikkan jarum spinal no 18 ke kavum Douglas dan lakukan pengisapan dengan sempri 10 ml.

(5). Bila pada pengisapan ke luar darah, perhatikan apakah darahnya berwarna cokelat sampai hitam yang tidak membeku atau berupa bekuan kecil yang merupakan tanda hematokel retrouterina.

d. Ultrasonografi berguna pada 5-10 % kasus-kasus bila ditemukan kantong gestasi di luar uterus.

e. Laparoskopi atau laparotomi sebagai pendekatan diagnosa terakhir.

6. Diagnosis.

Penegakkan diagnosa pada kehamilan ektopik belum terganggu sulit sehingga memerlukan pemeriksaan penunjang. Untuk mendiagnosa yaitu USG, Laparoskopi, atau Kuldoskopi.

Penegakkan diagnosa pada kehamilan ektopik terganggu didapatkan dari :

a. Anamnesis : amenore dan kadang terdapat tanda hamil muda, nyeri perut bagian bawah, nyeri bahu, tenesmus, dan perdarahan pervaginam setelah nyeri perut bagian bawah.

b. Pemeriksaan umum : penderita tampak kesakitan dan pucat, pada perdarahan dalam rongga perut.

c. Pemeriksaan ginekologi : ditemukan tanda-tanda kehamilan muda, rasa nyeri pada pergerakan servik, uterus dengan batas yang sukar ditemukan, kavum Douglas menonjol, berisi darah dan nyeri bila diraba.

d. Pemeriksaan laboratorium : Hb menurun setelah 24 jam dan jumlah sel darah merah dapat meningkat.

7. Diagnosa Banding.

Infeksi pelvik, abortus iminens atau incipiens, kista ovarium, ruptur korpus luteum, kista folikel, dan apendiksitis.

8. Penatalaksanaan.

Pasien di rujuk ke rumah sakit, di rumah sakit dilakukan :

a. Laparotomi.

b. Salpingektomi/salpingostomi/reanastomisis tuba.

c. Kemoterapi dengan metotreksat 1 mg/kg IV dan faktor Sitrovorum 0,1 mg/kg IM berselang seling selama 8 hari bila kehamilan di pars ampularis tuba belum pecah, diameter kantong gestasi kurang atau sama dengan 4 cm, perdarahan dalam rongga perut kurang dari
100 ml, dan tanda vital baik.

9. Prognosis.

Kematian karena kehamilan ektopik cenderung turun dengan diagnosis dini dan persediaan darah yang cukup. Sebagian wanita menjadi steril setelah mengalami kehamilan ektopik lagi pada tuba sisi lain. Angka kehamilan ektopik berulang dilaporkan 0-14,6 %.


INFERTILITAS

1. Definisi

Infertilitas adalah bila sepasang suami istri, setelah bersenggama secara teratur (2-3 x/minggu), tanpa memakai metode pencegahan, belum mengalami kehamilan selama satu tahun. (Arif Mansjoer : 389).

Kira-kira 10 % pasangan suami istri yang mencari nasihat medis dinggap infertil setelah dua tahun hidup sebagai suami istri, mereka tetap belum mempunyai anak. (Sylvia Veralls : 199).

Infertilitas adalah kemandulan. (Kamus kedokteran).

Apabila terdapat masalah seksual, maka dinasihatkan untuk melakukan konseling psikoseksual dan pendidikan, dan pasangan tersebut dirujuk ke klinik yang sesuai. Keterangan rinci mengenai riwayat menstruasi adalah penting perlu untuk mengetahui apakah siklus menstruasi teratur, dan apakah pernah terjadi pembuahan (konsepsi). Apabila wanita pernah hamil, apakah kehamilan tersebut terjadi secara spontan, karena pemberian terapi, atau karena digugurkan (terminasi).

2. Etiologi

Faktor suami sebesar 25-40 %, istri 40-55 %, keduanya 10 %, dan idiopatik 10 %.

Kelainan pada semen, gangguan evaluasi, cedera tuba, hambatan atau perlengketan tuba, endometriosis, gangguan interaksi sperma sekret serviks. Kelainan yang jarang seperti kelainan uterus, gangguan imunologi, infeksi, dan idiopatik.

3. Patofisiologi.

a. Wanita.

Beberapa penyebab dari gangguan infertilitas dari wanita diantaranya gangguan stimulasi hipofisis hipotalamus yang mengakibatkan pembentukan FSH dan LH tidak adekuat sehingga terjadi gangguan dalam pembentukkan folikel di ovarium.

b. Pria.

Abnormalitas androgen dan testosteron diawali dengan disfungsi hipotalamus dan hipofisis yang mengakibatkan kelainan status fungsional testis. Gaya hidup memberikan peran yang besar dalam mempengaruhi infertilitas diantaranya merobek, penggunaan obat-obatan dan zat adiktif yang berdampak pada abnormalitas sperma dan penurunan libido.

4. Manifestasi Klinis.

a. Wanita.

1). Terjadi kelainan sistem endokrin.

2). Hipomenore dan amenore.

3). Wanita dengan sindrom Turner biasanya pendek, memiliki payudara yang tidak berkembang, dan gonadnya abnormal.

4). Wanita infertil tidak memiliki uterus.

5). Motilitas tuba dan ujung fimbrienya dapat menurun atau hilang akibat infeksi, adhesi, atau tumor.

6). Traktus reproduksi internal yang abnormal.

b. Pria.

1). Riwayat terpajan benda-benda mutan yang membahayakan reproduksi.

2). Status gizi dan nutrisi terutama kekurangan protein dan vitamin tertentu.

3). Riwayat infeksi genitosorinaria.

4). Hipertiroidisme dan hipotiroid.

5). Tumor hipofisis.

6). Disfungsi ereksi berat.

7). Ejakulasi retrograd.

8). Mikropenis.

9). Gangguan spermatogenesis.

10).Hernia scrotalis.

11).Abnormalitas cairan semen.

5. Pemeriksaan penunjang.

a. Wanita.

1). Deteksi ovulasi.

2). Analisa hormon.

3). Sitologi vagina.

4). Uji pasca senggama.

5). Biopsi endometrium terjadwal.

6). Histerosalpinxgrafi.

7). Laparoskopi.

8). Pemeriksaan pelvis ultrasound.

b. Pria.

1). Analisa lepas.

2). Pemeriksaan endokrin.

3). USG.

4). Biopsi testis.

5). Uji penetrasi sperma.

6). Uji hemizona.

6. Penatalaksanaan

a. Wanita.

1). Pengetahuan tentang siklus menstruasi, gejala lendir serviks puncak dan waktu yang tepat untuk coitus.

2). Pemberian terapi obat.

3). GIFT (Gemete intrafallopian transfer).

4). Laparotomi dan bedah mikro untuk memperbaiki tuba yang rusak secara luas.

5). Bedah plastik misalnya penyatuan uterus bikonuate.

6). Pengangkatan tumor.

7). Eliminasi vaginitis.

b. Pria.

1). Penekanan produksi sperma untuk mengurangi jumlah antibodi autoimun, diharapkan kualitas sperma meningkat.

2). Agen antimikroba.

3). HCG : memperbaiki hipogonadisme.

4). FSH dan HCG untuk menyelesaikan spermatogenesis.

5). Bromokriptin untuk mengobati tumor.

6). Klomifen untuk mengatasi subfertilitas idiopatik.

7). Perbaikian varikel menghasilkan perbaikan kualitas sperma.